Suatu ketika, di siang hari telah berakhir cerita perjalanan seseorang. Terlihat begitu banyak bekas luka. Goresan yang ditinggalkan pada hati seseorang yang bersinergi dengan Dia. Kesan dan perjalanan, ilmu yang ditinggalkan pada orang lain jika membekas benar-benar, bagaikan wangi kesturi yang tak lekas hilang akan menjadi pengharum hidupnya kelak. Yang akan terjadi begitu sebaliknya, jika secuil noda berat yang amat teramat kotor telah tertanam dalam-dalam akan menjadi beban berat yang dipikulnya kelak.
Hal ini bagaikan analogi seorang peternak yang memelihara hewan ternaknya hanya untuk pelepas lelah, penghibur diri di antara kepenatan yang melanda. Peternak itu, hanya mempunyai satu tujuan, "Jika ayam telah besar dan gemuk, akan dinikmati bersama keluarga dan tetangga-tetangga." Ayam itu jika bermasalah karena tidak mau masuk kandang, sering masuk rumah akan dihukum lebih cepat dengan cara memotongnya.
Begitulah kehidupan, apa yang kita tanam akan kita tuai hasilnya kelak. Apa yang dilakukan sekarang akan berakibat di kemudian hari. Apa pun yang kita lakukan entah hanya jongkok, duduk, melamun, tidur, semua pasti ada konsekuensinya.
Saya bukanlah orang hebat, saya adalah pembelajar yang ilmunya masih sangat terbatas. Saya merasa bahkan masih amat teramat bodoh, jauh dari kata sempurna. Pengalaman saya pun masih sangat sedikit, secuil. Pengetahuan saya, bisa jadi lebih sedikit dibandingkan murid-murid saya saat ini.
Telah lama saya tidak menulis di dalam blog ini. Ada cita-cita sebelumnya, coretan-coretan masa lalu bahwa saya mempunyai jiwa untuk mendidik. Tamparan untuk saya saat ini jika apa yang telah saya ucapkan sebelumnya adalah bualan.
Mungkin inilah konsekuensi, tak ada yang langsung mulus. Lihatlah kota yang tertata indah, pasti melalui masa buruk yang sulit terkendali. Namun, berabad kemudian, menjadi kota yang indah. Semoga para pekerja dan pendidik semuanya benar-benar menjadi pendidik yang mendekati sempurna. Amin.
Kontinyuitas, semangat yang sebelumnya membara. Jangan sampai hilang tak berbekas dan hanyalah cerita masa lalu. Jika semangat perjuangan ini benar-benar bagus. Berpikir bahwa produktivitas atau hal-hal positif para aktor di depan kelas itu telah luntur dan hilang, berganti ke masa kelam yang buruk apa yang akan terjadi pada generasi-generasi harapan setelah kita.
Saya cukup malu jika berkaca pada diri sendiri, melihat para santri modern yang rajin membuka mushaf. Rajin menjaga wudlu, khusyuk menghafal firman dan ayat-ayat suci Illahi. Apa yang telah dilakukan saat ini, ilmu agama saya mungkin lebih rendah dibandingkan mereka. Kualitas milik saya tak pantas hanya statis tanpa adanya peningkatan.
Saya malu, jangan sampai saya hanya sebatas jadi pembual tanpa contoh konkret.
Nabi Muhammad Saw., mengajarkan kepada kita supaya kita melakukan sesuatu dengan sepenuh hati. Tidak menyakiti orang lain, walaupun orang itu begitu menyakiti kita. Rangkulah ia, dekati ia. Masuklah kita ke dalam dunianya. Gunakanlah pendekatan yang bijak dan baik supaya mereka mampu mengikuti kebenaran yang kita sampaikan.
Begitu lembut dakwah yang Beliau sampaikan, bertimbal balik pada ketulusan hambaNya kepada Beliau. Cacian, cemoohan keburukan yang Ia terima tidak serta merta dibalas dengan cacian dan cemoohan pula. Namun dibalas dengan begitu tulusnya Beliau menyampaikan lembutnya kebenaran. Begitu banyak kisahnya yang begitu menampar sikap kita selama ini. Seperti kisah Beliau dengan pengemis buta Yahudi yang mampu membawa pesan dan menyadarkan akan kebenaran Islam sebagai agama yang terbaik.
Saya sekarang belumlah berhasil menjadi guru yang benar-benar guru yang bijak. Gelar pahlawan tanpa tanda jasa itu belumlah pantas saya sandangkan. Saya tidak akan menyoroti minimnya honor guru di republik tercinta ini. Saya hanya menyoroti akan kualitas yang perlu ditingkatkan oleh para guru. Kompetensi yang harus dikuasainya. Saya juga tidak akan menyoroti akan lelahnya administrasi untuk memenuhi perubahan kurikulum. Niatkanlah Ekstra dan tulus untuk sesuatu yang Ekstra demi peserta didik yang lebih mumpuni.
Belumlah berhasil menjadi guru seperti yang dicontohkan Baginda. Saya merasa masih sangat minim pengalaman. Masihlah belum bisa merangkul karakter para peserta didik.
Pengalaman saya mengajar di bimbel dan di sekolah tempat saya mengajar. Merasa belum begitu bisa menguasai peserta didik. Anak-anak kadang merasa jenuh dengan monotonnya sikap kita sebagai figur maupun aktor di depan kelas. Saya yakin banyak guru lainnya yang mengalami hal serupa seperti saya.
Hal ini bagaikan analogi seorang peternak yang memelihara hewan ternaknya hanya untuk pelepas lelah, penghibur diri di antara kepenatan yang melanda. Peternak itu, hanya mempunyai satu tujuan, "Jika ayam telah besar dan gemuk, akan dinikmati bersama keluarga dan tetangga-tetangga." Ayam itu jika bermasalah karena tidak mau masuk kandang, sering masuk rumah akan dihukum lebih cepat dengan cara memotongnya.
Begitulah kehidupan, apa yang kita tanam akan kita tuai hasilnya kelak. Apa yang dilakukan sekarang akan berakibat di kemudian hari. Apa pun yang kita lakukan entah hanya jongkok, duduk, melamun, tidur, semua pasti ada konsekuensinya.
Saya bukanlah orang hebat, saya adalah pembelajar yang ilmunya masih sangat terbatas. Saya merasa bahkan masih amat teramat bodoh, jauh dari kata sempurna. Pengalaman saya pun masih sangat sedikit, secuil. Pengetahuan saya, bisa jadi lebih sedikit dibandingkan murid-murid saya saat ini.
Telah lama saya tidak menulis di dalam blog ini. Ada cita-cita sebelumnya, coretan-coretan masa lalu bahwa saya mempunyai jiwa untuk mendidik. Tamparan untuk saya saat ini jika apa yang telah saya ucapkan sebelumnya adalah bualan.
Mungkin inilah konsekuensi, tak ada yang langsung mulus. Lihatlah kota yang tertata indah, pasti melalui masa buruk yang sulit terkendali. Namun, berabad kemudian, menjadi kota yang indah. Semoga para pekerja dan pendidik semuanya benar-benar menjadi pendidik yang mendekati sempurna. Amin.
Kontinyuitas, semangat yang sebelumnya membara. Jangan sampai hilang tak berbekas dan hanyalah cerita masa lalu. Jika semangat perjuangan ini benar-benar bagus. Berpikir bahwa produktivitas atau hal-hal positif para aktor di depan kelas itu telah luntur dan hilang, berganti ke masa kelam yang buruk apa yang akan terjadi pada generasi-generasi harapan setelah kita.
Saya cukup malu jika berkaca pada diri sendiri, melihat para santri modern yang rajin membuka mushaf. Rajin menjaga wudlu, khusyuk menghafal firman dan ayat-ayat suci Illahi. Apa yang telah dilakukan saat ini, ilmu agama saya mungkin lebih rendah dibandingkan mereka. Kualitas milik saya tak pantas hanya statis tanpa adanya peningkatan.
Saya malu, jangan sampai saya hanya sebatas jadi pembual tanpa contoh konkret.
Nabi Muhammad Saw., mengajarkan kepada kita supaya kita melakukan sesuatu dengan sepenuh hati. Tidak menyakiti orang lain, walaupun orang itu begitu menyakiti kita. Rangkulah ia, dekati ia. Masuklah kita ke dalam dunianya. Gunakanlah pendekatan yang bijak dan baik supaya mereka mampu mengikuti kebenaran yang kita sampaikan.
Begitu lembut dakwah yang Beliau sampaikan, bertimbal balik pada ketulusan hambaNya kepada Beliau. Cacian, cemoohan keburukan yang Ia terima tidak serta merta dibalas dengan cacian dan cemoohan pula. Namun dibalas dengan begitu tulusnya Beliau menyampaikan lembutnya kebenaran. Begitu banyak kisahnya yang begitu menampar sikap kita selama ini. Seperti kisah Beliau dengan pengemis buta Yahudi yang mampu membawa pesan dan menyadarkan akan kebenaran Islam sebagai agama yang terbaik.
Saya sekarang belumlah berhasil menjadi guru yang benar-benar guru yang bijak. Gelar pahlawan tanpa tanda jasa itu belumlah pantas saya sandangkan. Saya tidak akan menyoroti minimnya honor guru di republik tercinta ini. Saya hanya menyoroti akan kualitas yang perlu ditingkatkan oleh para guru. Kompetensi yang harus dikuasainya. Saya juga tidak akan menyoroti akan lelahnya administrasi untuk memenuhi perubahan kurikulum. Niatkanlah Ekstra dan tulus untuk sesuatu yang Ekstra demi peserta didik yang lebih mumpuni.
Belumlah berhasil menjadi guru seperti yang dicontohkan Baginda. Saya merasa masih sangat minim pengalaman. Masihlah belum bisa merangkul karakter para peserta didik.
Pengalaman saya mengajar di bimbel dan di sekolah tempat saya mengajar. Merasa belum begitu bisa menguasai peserta didik. Anak-anak kadang merasa jenuh dengan monotonnya sikap kita sebagai figur maupun aktor di depan kelas. Saya yakin banyak guru lainnya yang mengalami hal serupa seperti saya.
Mungkin bagi para guru, pendidik atau ahli psikologi anak dapat berbagi di kolom komentar tentang bagaimana cara menjadi pendidik yang baik. Saya harap kesediannya untuk berbagi di kolom komentar. Semoga kita menjadi hamba yang mampu membangun Islam dan Negeri ini menjadi negeri yang gemah ripah loh jinawi, Baldattun Thayyibatun Wa Rabbun Ghofur. Amin.
Comments
Post a Comment