Suasana memanas seantero kampung ketika terdengar
cerita yang mengguncangkan telinga setiap wajah yang mendengarkannya. Semalam
kampung Argopuro menyelenggarakan gelaran wayang golek semalam suntuk. Acara
wayangan itu biasa diselenggarakan warga untuk menyambut hari jadi kampung yang
ke 101. Tapi penyebab memanasnya kampung itu bukanlah disebabkan oleh gelaran
wayang golek itu.
Begini kisahnya menurut Mbak Darsini,
Kang kemarin banyak warga yang kehilangan kewan
trenak. Ga tau lho kang penyebabe ki opo. Lha wong warga ki do nyeluk wayang
golek. Kang Arjo ketua RT 2 kehilangan 3 ekor kambing dan beberapa pakaian
miliknya yang sedang dijemur, terus pak paimun kehilangan 2 ekor sapi, padahal
salah satunya sedang bunting, begitu kisah menurut Mbak Darsini.
Menurut Pak RW, Desa Argopuro yang banyak kehilangan
hewan ternaknya disebabkan oleh ketidaksiagaan penduduk setempat. Lha wong lagi
asyik-asyiknya menonton gelaran wayang.
Bukan hanya hewan trenak aja yang hilang tanpa sebab
yang diketahui ataupun pakaian jemuran tetapi Gadis cantik, anak pak lurah juga
hilang entah kemana. Sontak warga geram sebab musababnya karena gelaran wayang
itu. Warga gempar-gempor perang mulut, saling fitnah caci maki satu sama lain.
Yang jadi masalah itu malah membuat warga gelisah, tak
ada upaya yang menjanjikan. Pikiran mereka malah nglantur tak keruan nggak
jelas. Yang jadi korban kegeraman warga ya yang tidak menonton wayang, Mbah
Sripi. Tidak mungkin buat mbah sripi menonton wayang yang jauhnya ada di pucuk
bukit. Mau berjalan saja rasanya punggungnya pada mau lepas. Kasihan sekali
Mbah sripi yang tidak menonton wayang jadi korban keganasan warga.
“Hancurkan rumah Mbah Sripi, usir mbah sripi dari
kampung ini! Pasti dialah pencuri semalam!.. Begitulah tingkah laku tidak jelas
warga.
Sontak Mbah sripi yang sedang tertidur bangun dengan
langkah kuyu karena raga tuanya, berjalan.
“Ada apa le, Mbah semalam hanya bisa tidur tidak bisa
nonton wayang. Mbah ini sudah tua kepala 8. Mau jalan aja susah.
Warga yang seperti kesetanan tidak peduli ia lemparkan
kayu dan apa yang mereka bawa ke arah Mbah Sripi. Mbah Sripi kelu tak keruan
itu langsung ambruk di tepi pintu.
“Mbah Sripi, Mbah Sripi!!! Suara gembor tangis iba
menyeruak dari dalam rumah yang kusam. Disaksikan oleh langit malam yang gelap
membisu. Mengapa kalian menuduh Mbah ku, aku yang merawatnya semalam padahal
Mbah sedang sakit. Kalian sudah tahu tiap lebaran kalian minta maaf, sungkem
sama mbah. Padahal tinggal dia sesepuh desa disini.
Begitulah perkataan sumiyati cucu Mbah Sripi yang
masih berusia belasan.
“Sontak warga yang masih waras, segera dingin, mereka
sadar apa yang mereka tuduh tidak mungkin untuk melakukan tindakan itu. Padahal
gelaran wayang tiap-tahunnya tidak memakan korban, apalagi sampai terjadi
pencurian masal.
“Mbah, bangun mbah!... Cucu Mbah Sripi menggoyangkan
tubuh mbahnya yang tidak berdaya. Tersungkur di lantai tanah diterangi cahaya
teplok pagi menjelang subuh.
Di keremangan cahaya fajar yang telah muncul, lantunan
adzar dan nyanyian ayam jantan. Bersahut-sahutan, namun kesaksian sang cucu.
Dan kebingungan warga terhadap apa yang telah mereka lakukan pada sesepuh desa
satu-satunya yang mereka miliki.
“Maafkan kami Mbah Sripi!!... Pikiran kami buta, kami
telah dibutakan oleh gelapnya rasa amarah.. Mbah Bangun! Mereka ikut
menggoyangkan tubuh Mbah Sripi. Namun apa yang terjadi Mbah Sripi hanya
terdiam. Pucat wajahnya, denyut nadinya kembang kempis lemah..
Kesaksian warna mega yang makin terang berwarna semu
kemerah-merahan, Mbah Sripi dipondong warga ditemani Sumiyati, Langit meratap
meneteskan berjuta linangan air sang mega. Warga dengan penuh kebingungan
memondong dengan langkah yang makin cepat ke Puskesmas terdekat. Puskemas yang
mereka tempuh berjarak satu jam dengan langkah kaki, telah terang termangu sang
surya dibalik gunung diufuk timur ketika mereka telah sampai di Puskesmas.
Sampai tersiar kabar dari dokter bahwa Mbah sripi telah meninggalkan kita untuk
selama-lamanya, denyut nadinya telah sirna.
Siapa yang tertuduh?? Siapa penyebab semuanya??
Jangan pernah menuduh.. itulah ratap sang cucu yang
ditinggalkan oleh kakek tercinta.
(Terinspirasi dari kasus salah tuduh kriminalisme)
Comments
Post a Comment