Disudut
desa, berdiam diri sesosok pemuda dengan tampang sederhana memandangi
sekeliling rumahnya. Tampak murung dan bimbang, serasa dipikiranya tersimpan
sejuta getir kehidupan dan keputusasaan. Memang ia telah lima tahun
kehilangan kedua orang yang amat dicintai dalam hidupnya, kedua orang tua nya
pergi entah kemana, saat orang tuanya pergi ke tanah seberang. Dimana di tanah
seberang pada saat itu terdengar kabar miring tentang penjarahan dan
penganiayaan. Orang tuanya kesana demi menghidupi keluarganya, tapi memang
takdir sudah berkata demikian. Dia mengigau “ buat apa hidup yang tidak ada
artinya seperti ini, menjadi anak yang tidak berguna! Jalan hidupku mengapa
seperti ini, semua orang tidak peduli dengan keadaanku! aku hanya perampok
waktu, peminta-minta dari belas kasih orang, aku tak minta belas kasih orang?
Aku hanya minta pengertian banyak orang. Itu cukup buatku bisa tersenyum.
Nama anak itu abas, dia bekerja mati-matian sejak berusia 12 tahun menghidupi
ketiga adiknya yang masih sangat kecil.
|
Berjalan dengan tertatih-tatih
meninggalkan rumah itu dengan penuh perasaan masa lalu yang sesak, yang justru
mampu menguatkan dirinya di lingkungan yang keras, entah pukul berapa yang
jelas semua orang belum bangun, tiba-tiba saat langkah kaki kanan yang kesekian
kalinya dua sosok orang menghampirinya. Kau mau kemana? Tanyanya? Belum sempat
menjawab sosok itu menghilang.. tinggalah satu sosok berwajah tampan, memandang
tajam abas dengan pandangan iba. Dan berusaha mengusap rambut abas tapi sosok
itu raib juga. Abas berpikir, “siapa mereka yang tiba-tiba menghilang?
Aku tak tahu apa yang akan terjadi. Namun, abas tetap dengan langkah pastinya
berjalan mengayuhkan langkah kakinya. Namun, saat ia sedang menyuarakan
bakatnya dalam sebuah inspirasi lagu disebuah bis kota. Ia baru ingat kedua
adiknya dirumah belum makan, adiknya sudah sebulan sakit dan belum kunjung
sembuh. Ia tak mampu membiayai adiknya untuk berobat ke rumah sakit.
***
Hei anak muda, siapa namamu? kau terlihat
letih sekali. tiba-tiba pria tua berambut putih menyapa nya setelah selesai
konser dengan alat seadanya dalam bis kota. Abas menjawab, tidak pak demi kedua
orang tua dan penghargaan hidup, saya tak akan pernah menyerah demi keadaan
yang lebih baik semampu dan sebisa saya. Dengan rasa heran orang tua itu
berusaha menghibur abas, dengan perjuangan dan cobaan yang kau dapatkan kau
akan dapatkan sesuatu yang berharga di suatu nanti nak. Karena kejujuranmu akan
mengantarkanmu ke jalan yang lebih baik. Aku mengerti apa yang kau rasa. Abas
pun turun dari bis kota dan meninggalkan orang tua yang barusan. Dan ia belum
sempat mengucapkan terima kasih. Namun, tak disangka dalam plastik rejekinya
terkumpul ratusan ribu yang cukup untuk membawa adik berobat. Alangkah
bahagianya, dia merasa hidup lebih berarti.
Bergegas pulang abas, untuk menuju ke
rumahnya, menjelang siang. Dia dengan berburu-buru, dengan langkah cepat menghampiri
kamar adiknya. Dengan bungkusan obat dan makanan ia cangking untuk
ke tiga adiknya. Dias-dias! Ini kakak bawakan makanan, ajeng dan ryan? tak ada
suara yang terdengar. hanya isak tangis yang dirasakan, tak disangka malam itu
juga cobaan sedang menanti abas. Kedua adiknya meratapi kakaknya dengan
berteriak sekeras-kerasnya, kakak! kak dias belum bangun-bangun dari tadi pagi.
Dengan langkah pucat pasi abas menghampiri adiknya lemas tak bardaya.
***
Setahun sudah abas, kehilangan satu lagi
orang yang amat dicintainya, apa yang telah ia alami memang sangat pedih. Namun
ia tak punya sedikitpun rasa menyesal, dendam kepada sang pencipta. Seperti
dalam bis kota, ia mendendangkan sebuah lagu simfoni.. harapan
menggebu-gebu keinginan bangkit untuk mengejar impiannya yang terpendam. Ia
dendangkan simfoni penuh harapan : “kuatkanlah diri ini… berharap segalanya
berlalu.. hanya bisa kukobarkan semangat cintaku.. cintaku yang kuharap,
kuharap bisa mengubur segala kepedihan.. apa yang aku rasa.. untuk mengobati semuanya”..
Seperti biasa ia bekerja mengais rejeki,
ia tak berpikir bahwa ia meminta-minta, karena ia rasa apa yang telah
dikerjakannya adalah perbuatan yang disayangi tuhan, bertahan karena ia tak
punya kemampuan selain bakat musik dan karangan puisi yang bisa ia buat.
Sekolah, tidak ada harapan buat dia, namun menyekolahkan adalah cita-cita yang
besar buat abas. Dalam bis kota itu abas mengungkapkan perasaan dan
ekspresinya, Dua lagu telah ia dendangkan dan satu buah puisi musikalisasi ia
dendangkan. Dan seperti biasa penghasilanya hanya pas-pasan. Saat abas,
bergegas turun meninggalkan bis kota itu, ia ditarik oleh preman kasar. Uangnya
ia minta dengan paksa, namun abas tidak diam begitu saja. Dengan keberaniannya
ia tinju preman itu, ia tak ingin perjuangannya sia-sia oleh manusia biadab
seperti preman itu. Ia berjalan berusaha melarikan diri dari tempat yang tragis
itu, dengan segenggam uang hasil bekerjanya yang telah berhasil ia rebut
kembali. Tapi preman itu terus membuntuti abas. Abas dikeroyok tiga orang
preman. Dengan keberaniannya, abas berkata : “ dasar preman tak tau diri,
ketahuilah aku hanyalah anak kecil sebatang kara, uang ini aku gunakan untuk
keperluanku.. tidakkah kalian memiliki cita-cita? Harapan?.. tiga orang preman
: halah bocah kecil ingusan! Tau apa kau dengan hidup ini, kau baru lahir
kemaren sore, dan bau bayimu masih terasa dari wajahmu.. udahlah kau tak akan
bisa lari dari kami. Hahahaha!!! Cepat serahkan de, kalau kau mau hidup dan
selamat. Abas : aku tak akan pernah rela keringat darahku kau minta dengan
paksa! Karena ini berarti kerja keras saya dan keberanian ku. Kalian tidak
ujudnya sebuah masalah baru yang muncul dari petualangan hidup saya yang
berliku.. tiga orang preman: dasar bocah ingusan! Omonganmu bener bener gila! Udah
ngga ada waktu!..
Dengan segenap kekuatan yang abas miliki,
ia hajar ketiga preman itu, “ dua orang preman berhasil ia lumpuhkan. Namun,
satu preman telah berhasil menangkapnya. Saat keadaan mulai getir, tiba-tiba.
Anita sahabat lama abas muncul, ia tinju dengan segera preman itu hingga
terjungkal tak berdaya.
***
Anita, kemana saja kau selama ini?, ucap
abas. Aku baik-baik saja bas, aku baru saja menyelesaikan karate ku sampai
sabuk hitam. Dan tak kusangka aku bisa menyelesaikannya secepat ini. Dan aku dipercaya
untuk menjadi sensei secepat ini. Dalam usia 17 tahun. Dan bagaimana kabar
adik-adikmu.
Abas diam sejenak, kedua air matanya
berlinang. Mereka berdua baik-baik saja. Anita : kemana adikmu yang satu? abas
memandangi sudut sekitar, air mata berlinang dengan deras dengan segenap
kekuatan yang telah ia susun abas menjawab “dias telah tiada”.
Sabar-sabar bas, ini semua adalah cobaan
yang berat buatmu? Dan kemana kedua adikmu sekarang?
aku menitipkannya kepada pak kyai
dipondokkan, dia adalah orang yang menolongku disaat aku kehilangan dias.
Comments
Post a Comment