Langit sore menengadah, jenjang kaki berseliweran
kesana-kemari lewat halaman rumah, rona wajah yang turut berduka terhampar
diwajah mereka yang datang bergantian. Semilir sepoi menampar pelan wajah anak
yang paling kecil yang bimbang dalam kedukaan yang nyata. Ia menengadah sendari
setelah melepas kepergian sang pelipur lara hidupnya, orang yang sangat berarti
dalam hidupnya. Sepeninggal Ibunya, ia buncah. Berpikir bahwa Ibunya akan
kembali dengan segera, namun ia salah berhari-hari tetap selalu tertimbun tanah
dan tak kan pernah kembali.
Mungkin itulah pelajaran tentang kematian baginya,
yang mati tidak akan pernah kembali karena telah pindah alam. Di pusara ibunya,
Ia membayangkan sesuatu itu kembali. Tentangnya semuanya, memang tinggalah cerita
dan lama-lama menjadi tanah juga.
Berhari-hari Mereka ditinggalkan olehnya, perubahan
yang nyata baginya telah ditinggalkan pergi orang yang sangat dicintainya,
pelan-pelan ia terbiasa tidak bersamanya lagi.
Ini bukanlah cerita palsu atau karangan belaka, namun
benar-benar nyata yang terjadi. Sepeninggalnya, Bunga pancawarna tiba-tiba layu
tanpa sebab. Tepat didepan rumahnya, Bunga itu sepertinya ikut memancarkan rona
kehilangan, padahal bunga itu sedang disiraminya si kecil “Rifki” dengan
ember-ember hitam yang biasa dipakai.
Waktu malam, sepulang shalat Isya dan mengaji, Mereka
bertiga terkejut mendengar lolongan Si Pus, Meeeeooooorwww! Grrrhhhh!!..
“Kak itu suara apa?
“Sepertinya suara kucing? Apa yang terjadi dengannya? Kedua
kakak Rifki bingung..
Rona wajahnya menampakkan kebingungan..
Ayo kita selidiki..
Mereka bertiga bergegas mencari suara itu dibalik
semak belukar dalam gelapnya malam..
Gerimis rintik-rintik perlahan membasahi ubun-ubun
mereka hingga membasahi seluruh tubuh mereka.. Hujan semakin deras, kilat tanpa
Guntur menyinari gelapnya malam..Kilat bagai lampu disko itu.
Tak ada rasa takut entah itu macan yang tiba-tiba
menerkam mereka..
“Pus… pus… pus!!!
Tak ada suara.. namun sepintas kemudian, Ngeorrghhh!!
“Apa itu kak? Aku takut!!
Jangan takut, hanya suara kucing!
Mereka pun dengan perlahan-lahan melangkah mengikuti
suara itu..
Tiba-tiba kedengaran suara Ayah yang muncul dibalik
semak belukar..
“Ayah?, mereka terkejut ketika Ayahnya memegang Kucing
Pusi kesayangannya,
Suaranya lemah,
Pussiii…. Kau kah itu??.........
***
Sepertinya ada yang telah menyerang Si Pus. Tiba-tiba
benar, mereka menjumpai Si Pus tak berdaya, Kucing mereka yang baru saja melahirkan
tiga anaknya kemarin kini teronggok didepannya. Si Pus menangis merintih dan
meringis-ringis, seakan-akan ia mengucapkan kata perpisahan dan memohon maaf
dan menitipkan anak-anak yang baru saja ia lahirkan kepada mereka bertiga. “Mereka
bertiga ikut menitikkan air mata dan iba terhadap kucing kesayangannya.”
Kucing itu mengeong-ngeong lemah mengucapkan kalimat
syahadat, pelan, sangat pelan.. dan diwaktu terakhir. Kucing itu menitikkan air
mata sebagai perpisahan terakhir. Nge….ong..!!.
“Kucing itu perutnya terkoyak, seperti ada sesuatu
yang menerkamnya, kemudian Ayah memendam Kucing yang meninggal itu sambil
menutup matanya.” Padahal kucing itu baginya sangat berarti, sangat penurut.
Bahkan pernah ia menangkapkan Burung Gemak yang utuh tanpa luka , kemudian burung
itu dipanggang dan disantap bersama-sama, Burung itulah gemak (Turnix sylvatica) yang biasa hidup di semak-semak,
merekapun melemparkan tulang-tulangnya ke kucing itu.
Ketika pagi tiba, seisi rumah bingung, karena burung
kepodang tidak berkicau, ternyata ia mati di kandang, begitupun kucing Si
Kembang Asem. Ia pergi tak tahu kemana.
“Kak, “kepodang kita mati!”
“Mana?”
“Itu di kandang kak..”
“Yang benar, kita baru saja kehilangan Ibu, Kucing
kita kemudian kepodang”
“Sepertinya ini cobaan yang besar bagi kita de?”
“Sabar ya de?”
“Mari kita kuburkan kepodang itu..
***
Memang belum cukup sampai disitu saja, Kembang Asem
hilang…
“Rifki dimana si kembang Asem?
“Tidak tahu kak… tadi siang masih kelihatan kak…
“Budi, Kau tahu si Kembang asem?
“Tidak tahu juga kak.”
Kembang asem itu telah pergi entah kemana…
Semalam memang kedengaran suara Anjing melolong-lolong
di dekat makam. Ketika itu suasanannya sangat miris. Anjing yang
melolong-lolong tanpa henti.. Dan Kembang Asem, malam itu terlihat keluar
Rumah.
Ini mungkin sebab rasa cinta binatang terhadap
majikannya, ia juga ikut merasakan. Bahwa majikannya telah tiada.
“Malam berikutnya, tiga anak kucing itu menangis.
Ngeeng…. Ngeeeong.. memanggil-manggil ibunya. Mencari susu yang mirip seperti
susu ibunya. Menyundul-nyundul, tapi ia tetap sendu, seperti merasakan bahwa
ibunya telah pergi. Anak kucing itu memberi isyarat kelaparan. Kemudian Rifki
menyusinya dengan dot bayi, isinya susu sapi. Entah cocok atau tidak.
Berhari-hari kucing kecil itu mengeang-ngeong lemah,
ngeeeng… ngeeeoong. Mereka memanggil-manggil ibunya. Hingga kelu upaya Rifki
dan kakaknya tak ada hasil, Rifki tak bisa berpikir rasional dan benar, Anak
kucing itu kembali menyusul ibunya untuk pergi selama-lamanya. Mereka bertiga
pun memendam mereka dekat dengan pusara Si Pus.
Aku bisa mengarang berpuluh-puluh kisah tapi ini
benar-benar kisah yang nyata.
Bukanlah kebetulan jika cinta yang pergi akan
mendatangkan cinta yang baru. Walaupun kepergiannya sangat singkat namun
peninggalannya begitu menyentuh di dalam hati.
Apalagi sosok yang sangat kita sayangi.
Grenggeng, 4 Mei 2013
Comments
Post a Comment